Pages

Sabtu, 31 Desember 2011

CERPEN

BULAT BULAT EMAS
Suara gemeletek, sambut menyambut suara wadah plastik bersaut dengan suara kocokan adonan. Sibuk benar, sampai Qori terbangun dari tidur nyenyaknya. Diiringi suara adzan subuh yg mengiang ditelingannya. Ia banar-banar tahu ini saatnya untuk baranjak dari ranjang kamarnya. Ia sudah hafal benar suara berisik itu pasti berasal dari Ibunya yang sibuk membuat adonan donat untuk dijualnya esok pagi.
“Kalau repot biar aku bantu bu’..”. “Ndak papa kamu kan tahu ibumu sudah biasa mengerjakan ini to.” Syukurlah kalau begitu pikirnya, ia tak harus repot mencampur ini itu dan apalah yang membuatnya kadang sering telat mandi pagi. Walau tidak membantu membuat donat, Qori biasanya mendapat jatah untuk menitipkanya nanti ke warung-warung terdekat sembari berangkat ke sekolah, bahkan sering pula ia tak sungkan menawarkan donat-donat bikinan ibunya itu ke teman-teman di sekolahnya. Bapak Qori merantau ke Jakarta. Meski tak tau betul kerja apa disana, mungkin bapaknya hanya kerja serabutan di Jakarta pikir anak SMA bertubuh agak tambun itu. Dengan sedikit kabar dan uang yang sekenanya saja ia dan ibunya terima setiap tahun, Qori sadar bahwa Bapaknya di Jakarta tak bisa di andalkan untuk hidup sehari-hari bersama sang ibu tercinta.
Donat-donat ditata rapai dalam sebuah keranjang plastik. Ada yang berselimut coklat ceres diatasnya dan ada yang di campur dengan gula bubuk, nikmat memang. “ Ambil satu ya bu’ buat sarapan. “ Pinta Qori pada ibunya.
“Satu saja lo.” Jawab ibu. “ ya.. iya bu’ .“ Qori kan cuma pengen ngerti donatnya sudah pas belum. “Hahaha….” Sambil tertawa pada ibunya.
“Baiklah ini donat jumlahnya berarti ada 35 ya, karena warung Bu Niken didepan lagi tutup jadi nanti kamu bawa saja donat-donat ini ke sekolah, ndak keberatan to .. .” Tanya ibu pada Qori yang sedang memakai sepatu bersiap berangkat ke sekolah. “Ok lah bu’.. .” jawab Qori datar. Motor dikeluarkan, ia siap berangkat meski keranjang plastik berisi donat itu sedikit membuatnya kerepotan di bawa dengan motornya. Hanya motor lama itupun peninggalan bapaknya sebelum merantau dulu, dia sudah biasa dengan itu semua. Sederhana dalam hidup agar kelak menjadi orang, kalimat yang biasa ibunya katakan kalau sedang menasehati. Sampai sekolah juga ia tak malu-malu bahkan untuk sekadar ejekan “ mbak, kok ada donat jual donat ya hahaaaa…” Riuh menyebalkan tak ia hiraukan, biarkan saja katanya asal tak kelewatan.
“ Donat- donat…” sahut bersahut suara itu sudah menjadi tanda bahwa Qori yang datang. “ayo-ayo donatnya, masih panas lo..”. Wah Qori rajin benar kamu pagi-pagi jual donat ke sekolah, ini bikin sendiri ya? “ celetuk salah seorang temannya.
“ Iya lah.. baru tadi subuh buatnya, ayo silahkan teman yang lain mau kan ayo-ayo, mari kakak-adek. Laku juga teriakan Qori dari tadi, meski tak seramai pengunjung kantin, satu persatu temannya bersimpati dan mendekati Qori yang menawarkannya dari satu kelas ke kelas yang lain. Beruntung bagi Qori hari ini jeripayahnya tak sia-sia keranjang berisi 35 donat sudah habis terjual, dengan harga 1500 per donat, kali ini ia meraup tak kurang Rp. 52500, lega benar hati Qori saat itu.
Duduk di kelas ia menuggu guru datang. Kali ini jam pelajaran Bu. Siska, guru Biologi kelas XI tempatnya duduk saat ini. Pelajaran dimulai dengan biasa, tak ada ulangan ataupun materi yang memberatkan betul bagi otaknya. Sesekali ia menebak jawaban Bu. Siska, ah sayanganya ia salah dan ia memang tak pandai sangat, tak juga bintang kelas. Hanya dikelas suaranya yang lantang dan sedikit bawel saja membuat guru-guru tahu siapa itu Qori.
Disela pelajaran, Qori dipanggil Bu. Siska. Entah kenapa, pikirnya salah menjawab tak juga disuruh kedepan. Tapi mungkin beda. Ulanganpun tidak gumamnya.
“ Qori.. .” Ibu Siska memanggil dengan suara lirihnya, “ Ehm.., Qori itu sepertinnya menurut daftar yang ibu baca, kamu belum melunasi.. e’hmm sebentar.” “Melunasi apa bu..?” Tanya Qori. “Nah ini buku pendamping Biologi yang bulan lalu ibu bagi itu, dan kamu dulu pernah bilang untuk melunasinnya sekarang kan.” “Oh, iya bu..”sedikit melepas tawa gelisah.
Gawat bagi Qori bukannya ia sendiri yang janji tapi ia malah lupa untuk melunasinya. “Aduhh.. bagaimana ini” renung Qori dihadapan Bu. Siska.
Dia tahu, hari ini ia benar-banar lupa ya setidaknya iapun tak mau melupakanya begitu saja tapi ia terus berpikir bagaimana jadinya kalau tak melunasi buku dengan harga Rp.50000 itu hari ini, ibunya pasti akan disuruh membayar ke sekolah. Berat betul, kalau harus ibunya yang datang sendiri ke sekolah. Tak usahlah pikirnya ibunya saja dari pagi, kadang hingga sore harus bejibaku dengan donat-donatnya di pasar. “ Baiklah bu, hari ini saya akan melunasinnya “
“kamu yakin..?, tak keberatan kan.” Kata Bu. Siska
“Ah tak apa, hari ini donat saya laku semua bu, ini lima puluh ribunya.
“syukurlah, jangan lupa bilang sama orang tua nanti dirumah, sekarang kembali lah duduk.”
Dengan mimik yang agak kusam, ia kembali ke tempat duduknya. “Haahh… mau bilang apa nanti pada ibu’ dirumah, kalau saja aku tak lupa aku bisa saja menabung uang jajanku untuk membayar buku tadi.” Qori sedikit melamun dan berkeluh dalam hati, ia sering tak mau merepotkan orang tuanya itu. Uang lima puluh dua ribu kini tinggal dua ribu, padahal ibunya bisa berharap hasil jualan nanti akan menutup biaya produksi donat-donatnya. Jika dipasar mungkin saja ibunya tak semujur dirinya berjualan di sekolah. Kadang saja sisa beberapa donat ia dan ibunya sendiri yang menghabiskanya di rumah. Susah memang hidup ini, tak punya buku apalagi. Anak SMA tak bisa berbuat banyak, kalau-kalau buku itu penting pastilah harus dibeli. Qori kali ini tertunduk saja. Disepanjang jalan menuju ke tempat parkir. Dengan keranjang kosong ditangan, banyak juga dari teman-temannya yang bilang “ wah laku benar, Ri..!, besok jualan lagi ya enak kok..” “terimakasih” jawabnya diselingi senyum kecil dipipi tembemnya.
Sampai dirumah ia mikir saja alasan apa yang harus ia lontarkan pada ibunya nanti. Ibunya biasa balik kerumah sekitar asar. Ya untunglah Qori masih punya sepeda nganggur dirumah, tak bagus tapi masih kuat untuk dikayuh ibunya sampai ke pasar.
“Sudah sampai bu’.” Sambut Qori dari depan TV. Qori langsung bangun dari lesehan di tikar, membantu ibunya mengangkat keranjang donat di sepeda. Tampaknya benar apa yang dipikirnya tadi. Beberapa donat tak laku hingga harus di bawa pulang kembali.
“Kenapa Ri, haahh.. hari ini pelanggan agak sepi sih, jadi masih ada banyak yang sisa tu.”
“Terus, gimana jualanya di sekolah laku ndak.. ?
“Ehmm… sebenarnya sih laku bu’, cumaa yaa…” “Cuma kenapa Ri..? “
Kali itu ia berusaha untuk jujur, Qori memberanikan diri dengan segala apa yang terjadi, sebenarnya ia tahu walau ibunya marah sekalipun, ibunya tak pernah akan memukulnya.
“Maaf bu’, sebenarnya donatnya laku semua tak sisa satupun, tapi tadi Qori terpaksa menggunakan uang jualan donat untuk bayar buku bu’.” Jawabnya begitu halus serasa amat bersalah. “Buku biologi bu’, pagi tadi Bu. Siska memanggilku kedepan, dan saat itu aku benar-benar lupa harus melunasi tagihan buku hari ini juga.”
“Dan aku tak mau kalau harus merepotkan ibu’ membayar ke sekolah.., aku sungguh menyesal bu’. Sejenak terdiam ibu Qori mendekati anaknya. “Kamu tak harus menyesal dengan semua itu, ibu tahu kamu selalu konsekuen dengan segala janjimu, dengan keadaan terdesak sekalipun kau tak perlu memikirkan bagaimana ibumu atau siapalah. “Kali ini ibu tidak marah, bagi Ibu ketepatan janji dan kejujuranmu lah yang ibu harapkan, hampir setiap hari kau rela berjualan donat ke sekolah saja.. , ibumu sudah bersyukur.
“Sesungguhnya ibu tampak kasihan juga membiarkanmu menahan malu berjualan donat-donat ibu.”
“Terimakasih bu’ , mungkin aku tak harus lupa untuk mendapat pujian dari ibu atas usahaku. Dan ini semua ku lakukan dengan iklas, karena tau ndak bu’ , seuntai kalung emas yang dulu ibu belikan untukku pun tak lebih berharga dibanding donat-donat buatan ibu, aku yakin bapak pasti juga berharap berjualan donat-donat ini adalah lebih baik dibanding susah payahnya ia di Jakarta.


DITULIS OLEH :
OBY RAHMANDANI
32/5439
XII IPA 2

0 comments:

Posting Komentar